Kasus GGAPA menjadi headline di beberapa stasiun televisi pada pertengahan Oktober 2022 lalu. Hal ini tentu saja meresahkan orang tua yang memiliki anak usia balita karena kebanyakan kasus GGAPA ini terjadi pada anak-anak usia balita hingga anak usia 18 tahun.

DR. Nurul Huriah Astuti, SKM., MKM., Sekretaris Jenderal Lembaga Kajian Perak, menulis ulasan mengenai hal tersebut dengan tajuk Penyelidikan Epidemiologi pada Kasus Gagal Ginjal Akut di Indonesia yang bisa Anda baca di bawah ini. Semoga memberikan pencerahan.

Penyelidikan epidemiologi pada kasus gagal ginjal akut di Indonesia

Juru bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Per 6 November 2022, menyatakan bahwa tidak ada lagi kasus baru Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak Indonesia. Pada tanggal tersebut, tercatat ada 324 anak terkenal GGAPA dengan kondisi 102 sembuh, 195 meninggal, dan 27 dirawat.

Diketahui bahwa kasus GGAPA mulai melonjak tinggi pada anak-anak Indonesia pada Agustus 2022, namun saat itu belum diketahui apa penyebabnya. World Health Organization (WHO) kemudian merilis daftar obat yang terkontaminasi  Etilen Glikol (EG) dan DEG (Dietilen Glikol) di Gambia. Meskipun obat tersebut tidak ada di Indonesia, namun Kemenkes RI mulai menaruh kecurigaan pada obat tersebut. Kemudian Kemenkes RI pada 18 Oktober 2022 mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan peredaran obat bebas ataupun obat bebas terbatas dalam bentuk cair/sirop. Tenaga medis juga diminta untuk tidak meresepkan obat tersebut. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa kasus GGAPA tersebut dilaporkan oleh seluruh rumah sakit yang ada di 28 provinsi di Indonesia. 

Dari hasil pemeriksaan  menunjukkan bahwa faktor risiko terbesar terjadinya GGAPA tersebut adalah toksifikasi dari Etilen Glikol (EG) dan DEG (Dietilen Glikol) pada sirop atau obat cair. Kasus baru GGAPA selanjutnya menurun sejak dikeluarkannya surat edaran kemenkes itu. 

Penyelidikan Epidemiologi

Ditemukannya toksifikasi EG dan DEG pada obat sirop yang diminum anak-anak sebagai faktor risiko terbesar terjadinya kasus GGAPA tidak terlepas dari penyelidikan epidemiologi yang telah dilakukan oleh Kemenkes RI. Secara teori, faktor risiko Gagal Ginjal Akut adalah long covid-19, infeksi virus lainnya, infeksi bakteri lainnya, ko-morbit (seperti diabetes mellitus, autoimun), obat/vaksin, atau karena zat toksik. Tersangka utamanya adalah EG dan DEG. 

Akan tetapi ada pertanyaan, “Mengapa ada kasus GGAPA yang tidak ada riwayat minum obat sirup. Sebaliknya, mengapa ada anak yang minum obat yang sama tetapi tidak mengalami GGAPA?”. Sehingga kemudian timbul pertanyaan lagi, “Lalu, penyebabnya apa?”.

Secara konsep penyebab, jika X merupakan  penyebab dari Y maka pajanan terhadap X mendahului terjadinya Y atau Jika ada X maka terjadi X, dan jika tidak ada X maka tidak terjadi X. Namun dalam kesehatan, umumnya tidak terjadi kondisi ideal seperti tersebut karena kondisi tubuh tiap orang berbeda-beda, ada penyebab multifaktorial, dan bisa jadi ada interaksi antar penyebab. 

Oleh karena itu, ketika terjadi lonjakan suatu penyakit yang tejadi dengan cepat, seperti Kasus Luar Biasa (KLB) maka diperlukan penyelidikan secara sistematis untuk diketahui penyebabnya. Hal ini dikenal sebagai Penyelidikan Epidemiologi (PE), yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui penyebab, sifat-sifat penyebab, sumber dan cara penularan/penyebaran serta faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit atau masalah kesehatan yang dilakukan untuk memastikan adanya KLB atau setelah terjadinya KLB/wabah (Permenkes No. 45/2014).

Penyelidikan Epidemiologi pada Kasus GGAPA

PE pada kasus GGAPA telah dilakukah oleh Kemenkes RI dengan memperlihatkan deskripsi dan sebaran kasus, derajat keparahan penyakit, dan status akhir pasien GGAPA (Case fatality yang tinggi, lebih besar 50% dan tingkat kematian tinggi). 

Pencarian penyebab GGAPA juga telah dilakukan. Misalnya dengan mencari apakah pada kasus GGAPA ada infeksi virus? Ternyata, tidak ditemukan pola patogen penyebab yang sama. Kemudian selanjutnya, apakah GGAPA ini berkaitan dengan vaksinasi covid-19? Ternyata, tidak ada pola yang konsisten pada kondisi GGAPA yang berkaitan dengan vaksinasi covid-19. 

Timbulnya kecurigaan terhadap EG dan DEG  dimulai dengan adanya rilis dari WHO pada 5 Oktober 2022 yang mengeluarkan peringatan atas empat obat sirup di Gambia. Dicurigai empat obat sirup tersebut berkaitan dengan meninggalnya 66 orang anak dengan gagal ginajal akut akibat intoksikasi EG. Akan tetapi obat tersebut tidak beredar di Indonesia. 

Kemudian dilakukanlah pemeriksaan pada 10 kasus GGAPA di RSCM. Walaupun pemeriksaan tersebut sulit  namun tetap dilakukan. Dari 10 kasus GGAPA di RSCM, tujuh kasus  di dalam darahnya ditemukan EG dan DEG. Selanjutnya dilakukanlah penelusuran darimana toksikasi EG dan DEG tersebut? 

Dari hasil penyelidikan pada 244 kasus GGAPA, ditemukan 90,9% pasien mengkonsumsi  obat sediaan cair. Selain itu,  68,4% pasien mengkonsumsi parasetamol (karena parasetamol menggunakan pelarut EG dan DEG). Ketika Kemenkes memberikan antidotum Fomepizol di RSM, 10 dari 11 pasien mengalami perbaikan, kadar EG nya tidak terdeteksi dalam darahnya. Selain itu, tren harian kasus GGAPA menurun setelah adanya surat edaran pelarangan penggunaan obat sirup. 

Dari situlah kemudian didapat kesimpulan bahwa bahwa faktor risiko terbesar terjadi GGAPA. Walaupun data menunjukkan bahwa ada juga 9,1%  anak yang mengalami GGAPA yang tidak minum obat sirop  dan 31,6% anak yang mengalami GGAPA yang tidak minum parasetamol.  

Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih terstruktur dan lengkap menggunakan kelompok pembanding dengan disain kasus kontrol guna memastikan bahwa EG dan DEG sebagai penyebab terjadinya GGAPA pada anak Indonesia. 

Saat ini, Kemenkes RI dan tim ahli sedang melakukan proses penelitian ini. Melalui penelitian kasus kontrol tersebut akan didapatkan nilai risiko (berupa Odds Rasio yang dapat sama dengan Relatif Risk karena GGAPA adalah kasus jarang) yang menunjukkan berapa risiko terjadinya gagal ginjal akut pada anak yang terpapar EG dan DEG dibandingkan dengan anak yang tidak terpapar. Jika  nilai risiko tersebut lebih tinggi maka akan semakin yakin bahwa EG dan DEG adalah penyebabnya. 

Kita tunggu hasil penelitian tersebut. Terima kasih Kemenkes dan Tim yang telah melakukan proses Penyelidikan Epidemiologi pada kasus GGAPA ini dengan baik (NHA).

Referensi:

  1. https://nasional.tempo.co/read/1654222/kemenkes-sebut-kasus-gagal-ginjal-akut-pada-anak-menurun
  2. Presentasi dr. Iwan Ariawan, MSPH Pada Seminar Online FKMUI Seri 23

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan bahasa yang baik dan sopan. Untuk diskusi silakan mengirim email ke lembagakajianperak@gmail.com | IG: lembagakajian.perak | FB: lembagakajianperak