Dr. Nurul Huriah Astuti, SKM., MKM, Dosen pada Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA yang juga Sekretaris Jenderal Lembaga Kajian Perempuan, Anak, dan Keluarga (PERAK) mengatakan bahwa perlu adanya penguatan pendidikan seksualitas dan kesehatan produksi bagi remaja. Hal ini disampaikannya dalam tulisannya terkait maraknya permohonan dispensasi nikah yang dilakukan oleh remaja sekolah menengah di beberapa wilayah di Indonesia. 

Perlunya Penguatan Pendidikan Seksualitas
Artikel yang ditulis oleh Dr. Nurul Huriah Astuti, SKM., MKM., ini sudah diterbitkan di www.beritautama.co.id dengan judul Dispensasi Nikah Remaja, Sinyal Perlunya Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi. 

Ratusan remaja di Ponorogo dan Kediri mengajukan dispensasi nikah di bawah umur. Alasannya karena hamil di luar nikah dan kecanduan pornografi. Memprihatinkan! Upaya promotif dan preventif pada edukasi seksualitas dan kesehatan reproduksi perlu dikuatkan di sekolah-sekolah.

Masa remaja merupakan salah satu fase perkembangan manusia yang paling cepat. Pada masa ini, kematangan biologis mendahului kematangan psikologis (World Health Organization, 2014). Sebagaimana asal namanya dari bahasa Latin, yaitu adolescere, yang berarti remaja maka kata remaja  mengandung makna manusia yang berkembang menuju kedewasaan (Lerner & Steinberg, 2004). 

Secara karakterisik, umumnya remaja tumbuh secara fisik, sering mencoba hal yang baru, mulai berpikir kritis, dan mengembangkan hubungan yang bervariasi dan kompleks (United States. Department of Health and Human, 2018). Selain perubahan fisik dan kognitif, remaja juga mengalami perubahan emosional, sosial, dan moral. Perubahan tersebut dikenal dengan istilah pubertas (United States. Department of Health and Human, 2018).  Pada masa pubertas, remaja rentan  terlibat pada berbagai perilaku berisiko kesehatan dan juga perilaku-perilaku yang tidak sehat, termasuk seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (suarasurabaya,net, 2016) menyebutkan bahwa 66,6% anak laki-laki dan 62,3% anak perempuan di Indonesia telah menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring. Akses pada pornografi tersebut meningkatkan risiko remaja pada perilaku seksual pranikah.  Data lain menyebutkan bahwa   5% remaja berstatus pelajar dan mahasiswa di 18 provinsi di Indonesia atau 1 dari 20 remaja berstatus pelajar dan mahasiswa di 18 provinsi di Indonesia pernah melakukan seks pranikah (BNN, 2017). 

Perilaku seksual pranikah pada remaja akan berdampak bukan saja terjadi kehamilan pada remaja perempuan, tetapi juga meningkatkan risiko terinfeksi Penyakit Menular Seksual. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyebutkan bahwa Kasus baru Infeksi Menular Seksual (IMS) pada  anak-remaja usia 12-22 tahun adalah 35% (Perdoski, 2018).

Faktor lain yang menjadi risiko terjadinya perilaku seks bebas pada remaja adalah perilaku pacaran. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI  (2012), 28%  remaja laki-laki  dan 27%  remaja perempuan memulai pacaran sebelum berumur 15 tahun (Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencanan Nasional, Departemen Kesehatan, & Macro International, 2013). 

Aktivitas umum yang dilakukan remaja dalam berpacaran tersebut adalah bepegangan tangan. Aktivitas tersebut dilakukan oleh 72% remaja perempuan dan 80% remaja laki-laki. Lebih lanjut, survei tersebut menyatakan bahwa 48% remaja laki-laki dan 30% remaja perempuan yang berpacaran,  melakukan aktivitas berciuman dan 30% remaja pria dan 6% remaja perempuan yang berpacaran tersebut,  melakukan perilaku meraba/merangsang bagian tubuh yang sensitif saat pacaran.  

Data tersebut, tidak jauh berbeda dengan hasil analisis yang dilakukan penulis pada data survei Badan Narkotika Nasional  18 provinsi  pada remaja berstatus pelajar dan mahasiswa di enam  Sekolah Menengah Pertama di Jakarta Selatan yang menunjukkan bahwa 67% remaja pada populasi tersebut melakukan pacaran, di mana dari remaja yang pacaran, 43% melakukan perilaku bergandengan.  

Aktivitas berpacaran lain yang dilakukan meraka adalah berpelukan dan membelai, hal ini  dilakukan oleh 14% remaja. Selain itu, mereka juga melakukan  perilaku cium pipi, meraba sekitar dada, dan oral sex, masing-masing dilakukan oleh 3% remaja (BNN, 2017).

Kondisi ini memperihatikan. Oleh karena itu, upaya promotif dan preventif terkait pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi pada remaja di sekolah-sekolah, khususnya di  tingkat SMP dan SMA, perlu dikuatkan dan ditingkatkan. Apalagi data SDKI Kesehatan Reproduksi Remaja (2012) menunjukkan bahwa pengetahuan remaja Indonesia terhadap kesehatan reproduksi  masih rendah (Badan Pusat Statistik et al., 2013). 

Hasil survei nasional tersebut menunjukkan bahwa 73,46% remaja laki laki dan 75,6 % remaja perempuan usia 15-19 tahun di indonesia tidak mengetahui pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi. Pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi dapat bekerjasama dengan pihak sekolah, khususnya bagian kurikulum agar dapat dimaksudkan dalam kurikulum sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan, bukan hanya insidentil.

Selain itu, berdasarkan konteks sosial remaja, teori  ekologi Bronfenbrenner (Bronfenbrenner & Ceci, 1994) dan kerangka konseptual Jessor (Jessor, 1991) menjelaskan kehidupan remaja mencakup berbagai tingkatan, yaitu tingkat individu, sosiodemografi, keluarga, dan sekolah. 

Dengan demikian, untuk melakukan upaya promotif dan preventif untuk pencegahan perilaku berisiko kesehatan pada remaja perlu ada kerjasama yang baik antara keluarga dan sekolah. Bagaimanapun pendidikan yang baik di tingkat keluarga akan menjadi faktor protektif dalam melindungi remaja terhadap berbagai perilaku berisiko kesehatan, termasuk perilaku yang berhubungan dengan seksualitas.

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan bahasa yang baik dan sopan. Untuk diskusi silakan mengirim email ke lembagakajianperak@gmail.com | IG: lembagakajian.perak | FB: lembagakajianperak